Setiap tanggal 31 Mei, seluruh penjuru dunia menyiarkan tagline Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS), termasuk Indonesia. Tak dimungkiri, tembakau merupakan bahan baku utama pembuatan rokok. Peringatan HTTS memang diniatkan untuk mengajak masyarakat dunia agar melek terhadap bahaya rokok.
Namun, siapa sangka tembakau yang selama ini dipandang berbahaya tersebut ternyata berpotensi menjadi biofuel. Sebagaimana dilansir dari portal sciencedaily, tembakau dapat dimanfaatkan sebagai energi terbarukan.
Menurut Vyacheslav Andrianov, Ph.D., asisten profesor di bidang Biologi Kanker di Laboratorium Jefferson Medical College of Thomas Jefferson University, tembakau dapat menghasilkan biofuel lebih efisien daripada produk pertanian lainnya. Meskipun sebagian besar minyaknya hanya terkandung di dalam biji, yakni sekitar 40 persen minyak per berat kering.
Kajian mengenai potensi tembakau sebagai biofuel juga telah dilakukan beberapa tahun terakhir oleh The US Department of Energy (DOE) Advanced Research Projects Agency–Energy (ARPA-E). Bahkan disinyalir DOE menggelontorkan dana penelitian sebesar 50 miliar rupiah. Tak hanya itu, menggandeng Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL), University of California di Berkeley, dan University of Kentucky di Lexington, DEO melakukan riset rekayasa genetik.
Umumnya tanaman tembakau mengandung 1,7 persen sampai 4 persen minyak nabati per berat kering. Adanya rekayasa genetik yang dilakukan membuat kandungan minyak per berat kering meningkat sampai tiga kali lipat.
Selain tembakau, sebenarnya banyak tanaman yang berpotensi sebagai biofuel seperti jagung, gandum, dan singkong. Hanya saja, tembakau akan menjadi lebih prospektif mengingat tanaman ini bukan tanaman pangan. Sehingga petani tidak perlu mengorbankan lahan tanaman pangannya. Jelas hal ini menjawab kendala pemanfaatan biofuel yang selama ini bersumber dari tanaman pangan.
Menariknya lagi, salah satu spesies pohon tembakau, yakni Nicotiana glauca diketahui dapat tumbuh baik di kawasan yang tidak begitu subur. Bahkan di kawasan yang hanya mendapatkan curah hujan 200 milimeter per tahun atau dengan suhu di atas 40 derajat Celsius.
Melihat potensi energi terbarukan yang prospektif dari tembakau ini, masihkah pantas menyebut Hari Tanpa Tembakau? Padahal jelas tembakau menjanjikan masa depan dengan energi yang lebih baik. Nah, rasanya akan lebih elok jika disebut dengan Hari Tanpa Rokok saja.
2 Comments
keren nih, jadi industri tembakau tetap jalan sehingga para petaninya tidak dirugikan hmm 🙂
ayo, lebih mendalami lagi. Insya Allah bermanfaat.